Beranda | Artikel
Maaf-Memaafkan Dalam Rangka Hari Raya, Disyariatkan?
Rabu, 5 Mei 2021

MAAF-MEMAAFKAN DALAM RANGKA HARI RAYA, DISYARIATKAN?

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni , MA

Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla  berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.[al-A’râf/7:199]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. [Ali ‘Imrân/3:159]

Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allâh Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allâh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali ‘Imrân/3:134]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus menggambarkan besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allâh Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allâh menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)”[1].

Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan diagungkan di hati manusia karena sifatnya yang mudah memaafkan orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi Allâh Azza wa Jalla [2].

Maaf-Memaafkan di Hari Raya?
Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Misalnya, mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fitri atau Idhul Adha.

Ini termasuk perbuatan bid’ah[3] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[4].

Kalau ada yang bertanya: mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan di atas?

Jawabnya: Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam.

Sebagai contoh, shalat malam dan puasa sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, dua jenis ibadah ini jika pelaksanaannya dikhususkan pada hari Jum’at, maka dua amalan besar tersebut menjadi tercela dan haram untuk dilakukan[5], sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Janganlah kalian mengkhusukan malam Jum’at di antara malam-malam lainnya dengan (melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at di antara hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang darimu [6]

Inilah yang diistilahkan oleh para Ulama dengan nama “bid’ah idhâfiyyah”, yaitu perbuatan yang secara umum dianjurkan dalam Islam, akan tetapi sebagian kaum Muslimin mengkhususkan perbuatan tersebut dengan waktu, tempat, sebab, keadaan atau tata cara tertentu yang tidak bersumber dari petunjuk Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [7].

Contoh lain dalam masalah ini adalah shalat malam yang dikhususkan pada bulan Rajab dan Sya’ban. Imam an-Nawawi  t berkata tentang dua shalat ini: “Shalat (malam di bulan) Rajab dan Sya’ban adalah bid’ah yang sangat buruk dan tercela”[8].

Imam Abu Syâmah rahimahullah menjelaskan kaidah penting ini dalam ucapannya: “Tidak diperbolehkan mengkhusukan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu (tertentu) yang tidak dikhususkan oleh syariat, akan tetapi hendaknya semua amal kebaikan tersebut bebas (dilakukan) di setiap waktu (tanpa ada pengkhususan). Tidak ada keutamaan satu waktu di atas waktu yang lain, kecuali yang diutamakan oleh syariat dan dikhususkan dengan satu macam ibadah…Seperti puasa di hari Arafah dan Asyura’, shalat di tengah malam, dan umrah di bulan Ramadhan…”[9].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “…Termasuk (contoh) dalam hal ini bahwa sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyebutkan larangan mengkhusukan bulan Rajab dengan puasa dan hari Jumat, agar tidak dijadikan sebagai sarana menuju perbuaan bid’ah dalam agama (yaitu) dengan mengkhusukan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak dikhususkan oleh syariat”[10].

Menimbang Acara Halal bil Halal
Termasuk acara yang marak dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia dalam rangka saling memaafkan setelah hari raya Idhul Fitri adalah apa yang biasa dikenal dengan  acara Halal bil halal.

Acara ini termasuk perbuatan bid’ah yang tercela dengan alasan seperti yang kami paparkan di atas. Acara ini tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini, para Sahabat Radhiyallahu anhum , serta para imam Ahlus Sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Padahal mereka adalah orang-orang yang telah dipuji pemahaman dan pengamalan Islam mereka oleh Allâh Azza wa Jalla  dan Rasul-Nya  Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla   berfirman:

وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para Sahabat) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar  [At-Taubah/9:100]

Dan dalam hadits yang shahîh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para Sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka”[11].

Di samping itu, acara ini ternyata berisi banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat Allâh Azza wa Jalla , di antaranya:

  • Terjadinya  ikhtilath (bercampur-baur secara bebas) antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan yang dibenarkan dalam syariat. Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, bahkan ini merupakan biang segala kerusakan di masyarakat.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan”  [12].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan hal ini dalam ucapan beliau: “Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai melapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembangpesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasan massal (umat manusia) dan  munculnya wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan”[13].

Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah  lebih menegaskan hal ini dalam ucapan beliau: “Dalil-dali (dari al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki) berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia) ke dalam perkara yang dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla . Dalil-dalil tersebut sangat banyak dan kuat (semuanya) menegaskan keharaman -ikhtilath (bercampur baur secara bebas antara laki-laki dengan perempuan), karena membawa kepada perkara (kerusakan) yang sangat buruk akibatnya”[14].

  • Bersalaman dan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya).
    Perbuatan ini sangat diharamkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dari pada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya”[15]
  • Kehadiran para wanita yang bersolek dan berdandan seperti dandanan wanita-wanita Jahiliyah.
    Ini juga diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kalian (wahai kaum perempuan Mukminah) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek dan berhias) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu. [al-Ahzâb/33 : 33]

Dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) setan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allâh) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”[16].

Penutup
Demikianlah pemakaran ringkas tentang hukum saling maaf-memaafkan dalam rangka hari raya. Wajib bagi setiap Muslim utk meyakini bahwa semua sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla semua itu telah dijelaskan dan dicontohkan dengan lengkap oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam petunjuk yang beliau bawa.

Sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifâri Radhiyallahu anhu  berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kami ilmu tentang hal tersebut”. Kemudian Abu Dzar Radhiyallahji anhu berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النـَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Tidak ada (lagi) yang tertinggal sedikit pun dari (ucapan/perbuatan) yang bisa mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, kecuali semua itu telah dijelaskan kepadamu [17].

Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasûlullâh dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang dari sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita. Amin.

Ya Allâh, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah (petunjuk)  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [18]

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_____
Footnote
[1] HR. Muslim no. 2588 dan imam-imam lainnya
[2] Lihat Syarh Shahîh Muslim 16/141 dan  Tuhfatul Ahwadzi 6/150
[3] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla,  yang tidak dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4] HR.  Muslim no. 867, an-Nasâi no. 1578 dan Ibnu Mâjah no. 45
[5] Lihat’Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 151
[6] HR. Muslim no. 1144
[7] Lihat ’Ilmu Ushûlil Bida’ hlm. 147-148
[8]  Fatâwâ al-Imâm an-Nawawi hlm. 26
[9] Al-Bâits ‘ala Inkâril Bida’i wal Hawâdits hlm. 165
[10]  Ighâtsatul Lahfân 1/368
[11] HR . al-Bukhâri dan Muslim
[12] HR. al- Bukhâri no. 4808 dan Muslim no. 2740
[13] Seperti penyakit AIDS dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.
[14] Majallatul Buhûtsil Islâmiyyah 7/343
[15] HR ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 486 dan 487 dan ar-Ruyani dalam al-Musnad 2/227, dan dinyatakan hasan oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 226
[16] HR Ibnu Khuzaimah no. 1685, Ibnu Hibbân no. 5599 dan at-Thabrâni dalam al-Mu’jamul  Ausath no. 2890, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbân, al-Mundziri dan al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 2688
[17] HR ath-Thabrâni  dalam al-Mu’jamul Kabîr 2/155, no. 1647 dan dinyatakan shahih oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 1803
[18] Doa yang selalu diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal yang dikutip oleh al-Khathîb al-Baghdâdi dalam Târîkh Baghdâd 9/349


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/33538-maaf-memaafkan-dalam-rangka-hari-raya-disyariatkan-2.html